kebudayaan Jawa


Daerah kebudayaan Jawa

Dalam kebudayaan terdapat berbagai unsur-unsur kebudayaan secara universal. Unsur-unsur universal itu yang sekalian merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini, adalah:

1. sistem religi dan upacara kebudayaan,

2. sistem organisasi dan kemasyarakatan,

3. sistem pengetahuan,

4. bahasa,

5. kesenian,

6. sistem mata pencaharian hidup,

7. sistem teknologi dan peralatan,

Unsur-unsur kebudayaan itu akan dijumpai pada setiap belahan di dunia itu pada kelompok masyarakat yang berbudaya.

Salah satu adalah kebudayan Jawa yang memiliki tatanan budaya yang sangat kompleks dan memilki cakupan kebudayaan yang luas. Daerah kebudayaan Jawa relatif luas, yaitu meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari Pulau Jawa. Daerah-daerah yang meliputi kebudayaan Jawa yang sering disebut sebagai daerah kejawen meliputi daerah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Daerah di luar itu dinamakan Pesisir dan Ujung Timur.

Sehubungan dengan hal itu, maka seluruh rangka kebudayaan Jawa ini, memiliki pusat kebudayaan. Pusat kebudayaan merupakan kekayaan kebudayaan. Pusat Kebudayaan Jawa terletak di Yogyakarta dan Surakarta. Sudah barang tentu di antara sekian banyak daerah tempat kediaman masyarakat Jawa terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur-unsur kebudayaannya, seperti perbedaan mengenai istilah tehnis, dialek bahasa dan lainnya. Namun, perbedaan-perbedaan yang itu tidaklah besar karena apabila diteliti lebih lanjut menunjukkan satu pola ataupun satu sistem kebudayaan Jawa.

Salah satu unsur itu yang menarik adalah bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada orang lain. Bahasa inilah yang menjadi peranan penting dalam hubungan-hubungan sosial sehari-hari. Salah satu dari unsur atau sistem budaya Jawa adalah mengenai bahasa. Bahsa berasal dari pusat kebudayaan yang kemudian menyebar sampai ke daerah pinggiran. Sesampainya di daerah pinggiran bahsa mengalami suatu perubahan bunyi ujar atau arti yang terkandung dalam bahasa itu. Perubahan itu di karena oleh lokal geografi dimana bahasa dari pusat kebudayaan di adopsi oleh masyarakat pinggiran. Lokal geografi dapat ditunjukkan melalui cara berbicara atau dialek yang diucapkan.



Skema Bahasa Jawa dan dialek-dialeknya :

B. Pembahasan

1. Bahasa Jawa dialek Surabaya

Surabaya merupakan salah satu kota terpenting di Indonesia. Surabaya merupakan ibukota dari Propinsi Jawa Timur. Surabaya yang notabene merupakan kota pelabuhan banyak menerima pengaruh kebudayan dari luar. Sebagai kota pelabuhan Surabaya akan banyak dikunjungi oleh suku bangsa lain, yang berasal dari luar terutama. Namun tidak demikian, Surabaya tetap mendapatkan pengaruh lebih banyak dari pusat-pusat kebudayaan (Surakarta). Karena dilihat dalam bidang sintaksis, struktur kalimat bahasa Jawa dialek Surabaya tak jauh berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Perbedaannya hanya terletak pada bidang intonasi. Intonasi bahasa Jawa dialek Surabaya mirip dengan intonasi pemakai bahasa Madura dalam berbahasa Jawa. Hal ini tidak mengherankan, sebab di daerah Surabaya dan sekitarnya banyak tinggal orang Madura yang berbahasa Jawa. Intonasi bahasa Madura digunakanya untuk berbahasa Jawa, sehingga hal ini mempengaruhi bahasa Jawa. Intonasi ini kemudian diwariskan secara turun-temurun.

Dalam hal itu, maka kebahasaan di Surabaya dapat dibedakan lagi menjadi:

1. Bahasa Jawa Baku (Bahasa Jawa Surakarta) yang berfungsi seperti Bahasa Jawa pada umumnya. Bahasa jawa baku ini digunakan sebagai bahsa pengantar di Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama, dalam peraturan-peraturan resmi yang telah ditetapkan.

2. Bahasa Jawa dialek Surabaya, yang dipakai dalam keadaan yang bersifat informal, tak dinas, santai, akrab, bernada kekeluargaan, dan berlatar belakang kedaerahan.

2. Cakupan Wilayah Dialek Surabaya

Orang-orang yang memakai dialek Surabaya dapat disebut sebagai masyarakat Surabaya. Yang dimaksud dengan masyarakat Surabaya tidak terbatas pada kotamadya Surabaya. Tetapi cakupan wilayah masyarakat Surabaya meliputi daerah Gresik, Mojokerto, dan Sidoarjo. Di daerah ini, terutama di kampung-kampung atau di desa-desa, orang sering bercakap dengan bahasa Jawa krama, terutama anak muda pada orang tua atau orang yang dianggap tua, ataupun pada orang sebaya yang baru dikenalnya.

3. Bahasa Sebagai Tanda Status Sosial dan Penggunaannya

3.1 Bahasa Jawa Baku

Di dalam pergaulan-pergaulan hidup maupun perhubungan-perhubungan sosial sehari-hari mereka berbahasa Jawa. Pada waktu mengucapkan bahasa daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia maupun status sosialnya. Demikian pada prinsipnya ada dua macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari kriteria tingkatannya. Yaitu bahasa Jawa Ngoko dan Krama.

3.1.1 Bahasa Jawa Ngoko

Bahasa Jawa Ngoko merupakan bahasa apa adanya, tanpa adanya tujuan untuk memberikan penghoramatan. Bahasa Jawa Ngoko digunakan oleh:

1. Anak yang belum mengerti apa-apa (kanak-kanak)

2. Orang yang berbicara dengan orang seumurannya.

3. Orang tua yang berbicara dengan anak muda.

4. Pemimpin yang berbicara denagn bawahannya.

Dalam bahasa Jawa ngoko, masih dibagi lagi menjadi dua golongan, yaitu:

3.1.1.1 Ngoko lugu, adalah bahasa ngoko apa adanya, tanpa tercampur dengan bahasa Krama.

Contoh: Kowe mau numpak apa?

Bocah-bocah padha mlaku-mlaku.

3.1.1.2 Ngoko andhap, adalah bahsa ngoko ayng tercampur denagn bahsa krama.

Contoh: Sliramu mau nitih apa?

Sampeyan mau numpak apa?

Panjenengan mau nitih apa?

Pak Sastra ora sida tindak-tindak.

3.1.2 Bahasa Jawa Krama.

Bahasa Jawa Krama merupakan bahsa taklim atau bahasa yang digunakan untuk menghormati seseorang. Bahasa Jawa krama digunakan oleh:

1. Anak muda kepada orang yang lebih tua atau orang yang dianggap lebih tua.

2. Murid kepada guru

3. Anak kepada orang tuanya.

4. Bawahan kepada atasannya.

3.1.2.1 Wujud dari bahasa Jawa Krama adalah:

a. Wujud dari pembetulan bahsa Jawa Ngoko yang di-krama-kan, contohnya

Kurang

Dadi

Upama

Cedhak

Mau

Nganti

Kowe

——————-

———-

———-

———-

———-

———-

Kirang

Dados

Upami

Celak

Wau

Ngantos

Panjengengan

b. Wujud kata lain, namun artinya tetap atau kata yang berasal dari serapan bahasa asing, contohnya

Telu

Lima

omah

——————-

———-

Tiga

Gangsal

griya

c. Wujud kata yang sama dengan Jawa Ngoko, seperti; wani, pance, anyar, wulang, dsb. Kata-kata seprti itu disebut sebagai kata ”krama ngoko”.

d. Wujud kata yang boleh di-krama-kan atau tidak di-karama-kan, kata itu disebut ”krama wenang”, contohnya

Rokok/ses

Utama/utami

Ijen/piyambak

3.1.2.2 Bahasa Jawa Krama Inggil.

Bahasa Jawa krama inggil, tingkatan untuk menghormati lebih tinggi daripada bahas Jawa krama. Bahasa Jawa krama inggil disebut sebagai bahasa kurmat luhur. Kata-kata bahasa Jawa krama inggil tidak terlalu banyak, krama inggil hanya menjelaskan mengenai nama anggota badan, tempat, tindakan, keadaan, dan nama-nama barang yang sering digunakan oleh orang yang dihormati.

Contoh:

Ngoko

Krama

Krama Inggil

Arti

Njaluk

Kandha

Mlaku

Lunga

Kowe

Nyuwun

Matur

Mlampah

Kesah

Sampeyan

Mundhut

Dhawuh, ngendika

Tindak

Tindak

Panjengengan

Membeli

Berkata

Berjalan

Pergi

Kamu

Selain itu, bahasa Jawa yang telah diklarifikasinya dipergunakan juga tergantung pada tempat bahasa itu digunakan. Sepert bahasa Kedhaton atau bahasa Bagongan yang digunakan khusunya untuk kalangan istana; bahasa Jawa Krama Desa atau bahasa orang-orang di desa-desa; dan akhirnya bahasa Jawa Kasar yakni salah satu macam bahasa daerah yang diucapkan oleh orang-orang yang sedang dalam keadaan marah atau mengumpat seseorang.

3.2 Bahasa Jawa Dialek Surabaya.

Dalam bentuk morfologi, bahasa Jawa dialek Surabaya tidak mempunyai kekhususan yang berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Sistem imbuhan, ulangan dan kata majemuk umumnya tak berbeda dengan bahasa Jawa umum.

Dilihat dari segi fonetik, perbedaan fonetik antara bahsa Jawa dialek Surabaya dengan bahsa Jawa umum terletak pada perbedaan vokal dan konsonan. Misalnya kata pitek menjadi petek, irung menjadi erung, dhuwur menjadi dhukur, nyilih menjadi nyelang, siji menjadi sithuk, dan kari menjadi gari.

Daftar kata bahasa Jawa dialek Surabaya. Kata-kata itu seperti: arek, cacak, ndhuk, kon, pena, rika, embong, mene, nggone, montor muluk, praoto, kunci gombyok, diteleki, mumet, bahbah (e)na, temen, nedha nrima, dan lain-lain. Untuk mengingatkan pembaca jangan sekali-kali menggunakn kata gitik dan balon di Surabaya. Sebab kata gitik (digitik, nggitiki) berarti menyenggamai seorang wanita. Begitu pula kata balon, diartikan pelacur. Sebagai gantinya, sebaliknya menggunakn kata dop lampu atau plembungan.

Bahasa Jawa berdialek surabaya merupakn bahsa rakyat. Bila bahasa ini kini digunkan oleh para pegawai di kotamadya, gubernuran, di universitas (baik dosen atau mahasisiwa), dan lain-lain, karena anak-anak rakyat tersebut kini banyak yang menjadi pegawai negeri atau orang yang berpangkat.

Ciri bahasa rakyat ini antara lain ditandai dengan pemakaian kata-kata dancuk, damput, jangkrik, taek, simboke ancok, dobol, asu, matamu, e jaran, dan lain-lain, dalam pergaulan sehari-hari tanpa memandang pangkat, jabatan, maupun tempat. Kata-kata ini dalam bahasa Jawa umum dipandang orang sebagai kata-kata yang kasar atau kotor (saru), dan biasanya digunakan untuk memarahi seseorang atau ditujukan kepada orang yang dibenci, tapi dalam masyarakat Surabaya kata-kata ini digunakan dalam situasi penuh keakraban, terutama kata dancuk, diamput, dan jangkrik. Dikatakan penuh keakraban karena bila kata tersebut diucapkan seseorang terhadap orang lain (teman atau kenalan lama), maka yang dikenalinya tidak marah. Jadi sambil bersalaman, kata itu diucapkan.

C. Kesimpulan

Surabaya masih mendapatkan pengaruh besar kebudayaan Jawa. Bahasa Jawa baku masih tetap digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah dasar maupun menengah pertama, pedesaan-pedesaan. Bahasa Jawa baku masih tetap dipergunakan dalam situasi resmi (pertemuan, upacara pernikahan, rapat), dan bahsa tulis (surat kabar, surat, dan sastra). Bahasa Jawa baku yang digunakan masih tetap menggunakan kaedah bahasa yang telah ditetapkan di pusat-pusat kebudayaan. Penggunaan bahasa Jawa baku juga masih tetap mengunakan aturan-aturan yang mengait bahasa yang harus digunakan.

Bahasa Jawa dialek Surabaya yang dianggap sebagai bahasa ”kasar” diartikan sebagi sebuah bahasa untuk mengakraban. Bahasa yang digunakan bila pihak-pihak yang menggunakan telah saling memahami. Bahasa dengan dialek Surabaya tidak mengenal adanya klarifikasi sosial atau status sosial yang melekat pada diri seseorang.

Untuk penyampaian kata-kata keakraban perlu diketahui dan diselidiki demi menumbuhkan pengertian antar daerah pengguna bahasa Jawa.

Hiro,Tugiman, Budaya Jawa dan Mundurnya Soeharto, (Yogyakarta:Kanisius,1998), hlm.1.

Kodiran, ”Kebudayaan Jawa”, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Ed. Koentjaraningrat, ( Jakarta: PT. Djambatan). hlm. 329.

Suripan Sadi Hutomo, “Linguistic Folklore”: Bahasa Jawa Dialek Surabaya.” dalam Kesenian, Bahasa dan Folklor Jawa.ed. Soedarsono. (Yogyakarta: Departemen pendidikan dan Kebudayaan,1986). Hlmn. 353.

Ditulis dalam Berita« sej kebud indonesia menak kuristam »

Antropologi: Unsur-Unsur Kebudayaan


KONSEP KEPEMIMPINAN JAWA

[Dalam Ajaran Sastra Cetha dan Astha Brata]
Kepemimpinan menurut budaya Jawa bentuk dan konsepnya multi varian, bahkan setiap genre pasti memiliki corak yang berbeda. Kendatipun demikian, konsep-konsep tersebut arahnya menuju sebuah paradigma keseimbangan [equilibrium].
Dikaitkan dengan sastra Jawa, banyak konsep kepemimpinan yang dicipta, karena dalam sastra Jawa, penuh dengan keteladanan yang diwujudkan sebagai bentuk ajaran.
Berikut beberapa karya sastra Jawa yang memuat ajaran pemerintahan dan kepemimpinan, antara lain:

  • Serat Rama karya R.Ng. Jasadipoera
  • Serta Pustaka Raja Madya karya R.Ng. Yasadipura II,
  • Serat Paniti Praja
  • Serat Wulang Reh karya Paku Buwana IV,
  • Serat Wedhatama karya Mangku Negara VII
  • Serat Laksitaraja karya Mangku Negara VII

Untuk kali ini Joglo mengetengahkan Buku Konsep Kepimpinan Jawa, yang merupakan hasil penelitian, Dra. Suyani, M.Hum. Karya tersebut dikemas dalam bentuk buku saku, dengan Editor Salamun.

Detil Buku:
JUDUL : Konsep Kepemimpinan Jawa [Dalam Ajaran Sastra Cetha dan Astha Brata]
PENGARANG : Drs. Suyami,M.Hum
PENERBIT: KEPEL PRESS Yogyakarta. Jl. Kalimantan, Purwosari, Sinduadi, Mlati, Sleman Yogyakarta. Telp. [0274] 7470601 Hp: 081 227 10912. E-mail: kepelcom@yahoo.com
ISBN : 978-979-3075-25-9
CETAKAN : I. 2008

Tesis Suyami ini hadir karena adanya refleksi yang dilakukan, ketika kesadaranya melihat fenomena yang terjadi saat ini. Menurutnya saat ini terjadi krisis kepemimpinan. Dari krisis inilah, Konsep kempimpinan Jawa akan digunakan untuk meneropong dimensi ideal, hubungan antara Raja, negara dan rakyat. Pola hubungan inilah diharapkan agar tercapainya sebuah tatanan masyarakat yang, “tata tentrem kerta raharja”. Lingkup penelitian ini, dibatasi hanya dalam pencermatan sebuah karya sastra, yakni, serat Rama karya R.Ng. Jasadipoera II. Dalam serat ini terdapat dua ajaran.
Ajaran pertama adalah “sastra cetha” dan “astha brata”
Pemilihan Serat Rama ini, menurut penulisnya, karena dalam Serat Rama terdapat dua ajaran kepemipinan, yang berbeda eruntukkannya. Serat Rama ini merupakan Naskah yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1925. Naskah ditulis dalam bahasa Jawa dengan huruf latin
AJARAN KEPEMIMPINAN DALAM SASTRA CETHA:
Dalam sastra cetha, Rama mengajarkan kepada Bharata apabila menjadi raja haruslah memperhatikan”paugeran” yang dinamakan Sastra Cetha. Perjalan sejarah mencatat bahwa Sastra Cetha telah lama menjadi pegangan bagi para raja utama, ketika memegang tampuk kepemimpinan. Inti ajaran Sastra Cetha adalah bahwa seorang raja harus mampu dan dapat memahami tiga tingkatan nilai perbuatan, yaitu “nistha” [hina], “madya”[sedang], dan “utama” [terbaik].
Perbuatan yang nistha harus benar-benar “dihindari”, jangan sampai menyentuh. Perbuatan madya cukuplah dimengerti, sedangkan perbuatan yang utama harus diusahakan untuk dilaksanakan.
Dalam sastra cetha disebutkan ada lima macam perbuatan yang membahayakan dan harus dihindarkan dari setiap orang yakni:

  1. pencuri
  2. pencuri wanita
  3. penyamun
  4. penjudi dan penjahat
  5. penjilat..

Dalam tesis Suyami, penjilat diuraikan sebagai berikut:
Ciri-ciri seorang penjilat adalah orang yang merasa menjadi kepercayaan raja, yaitu orang yang merasa hanya dirinyalah yang paling dekat dan dipercaya raja. Lupa pada kenyataan bahwa raja itu milik orang banyak.
Teks Ajaran Sastra Cetha terdapat dalam Pupuh V MIJIL, dan Pupuh VI DHANDHANGGULA

ASTHA BRATA:
Kata astha brata artinya delapan macam kebajikan. Ajaran tersebut diberikan oleh Rama kepada Wibisana pada saat akan diangkat menjadi raja kerajaan Alengka menggantikan kakandanya, yaitu Prabu Rahwana. Di sini Wibisana disuruh melindungi dan memulihkan kesejahteraan Kerajaan Alengka yang telah hancur karena perbuatan prabu Rahwana.
Teks Ajaran Asta Brata terdapat dalam Pupuh LXXVII PANGKUR, Dan Pupuh LXXVIII Mijil.
Dalam menjalankan pemerintahan di Kerajaan alengka tersebut Wibisana dinasehatkan agar mencotoh kebajikan delapan dewa, yaitu Dewa Indra, Dewa Surya, Dewa Bayu, Dewa Kuwera, Dewa Baruna, Dewa Yama, Dewa Candra, dan Dewa Brama.
DEWA INDRA :
Ia mempunyai sifat perwatakan pengasih, penyayang, dan cinta kepada seni keindahan. Apabila “tiwikrama” [berubah wujud] ia mempunyai perbawa halilintar. Ia seringkali diutus untuk memberikan pahala kepada seorang-orang yang mendapat anugerah. [hlm:171]
DEWA SURYA
Dalam asta brata disebutkan sifat Bathara Surya sangat baik budi pekertinya. Dalam segala perintahnya selalu menyenagkan. Selalu berusaha menyejukkan perasaan warga warga. Dalam memerintah tidak pernah mengutamakan dan menggunakan kekerasan, melainkan sangat halus dan selalu memahmi keinginan warga sehingga para warga tidak terasa kalau dibawa ke arah kebaikan. Dia tidak pernah marah juga tidak pernah tergesa-gesa. Dia bisa mempengaruhi hati musush dengan tanpa rasa.
DEWA BAYU
Dalam asta brata disebutkan sifat Bathara Bayu selalu berusaha mengintai mengethui jalan pikiran setiap orang. Usahanya dilakukan tanpa tyerlihat, ibarat tanpa jarak tanpa pertanda. Semua tingkah laku dan gerak gerik setiap orang, baik yang jahat maupunyang berhati mulia dapat diketahui. Ia selalu bisa memahami dan menghayati hati paran warganya.Kebutuhan warga selalu dipenuhi sehingga dalam pemerintahan dapat menyenangkan semua orang.
DEWA KUWERA
Bethara Kuwera sangat bakti kepada perikemanusiaan. Ia seringkali memberi petunjuk, fatwa, pahala, dan perl.indungan serta pertolongan kepada umat di arcapada [dunia]. Dalam asta brata disebutkan sifat Bathara Kuwera senantiasa memberikan kesenangan, baik dalam hal makan maupun kesenangan yang lainnya. Dia memegang teguh kebenaran. Dia selalau mengajarkan tentang kemuliaan dan selalu mempelajari kepribadian yang benar. [hlm:121]
DEWA BARUNA
Dalam, asta brata disebutkan sifatnya yang senantiasa mengenakan senjata. Dia bisa mengusahakan keselamatan dengan berpegang pada kata hati. Semua masalah dipandang dengan penuh hati-hati, serta semua ilmu dan kepandaian berusaha dipelajari. Dia sangat tidak suka, sedih, dan jijik jika melihat tindak asusila dan kejahatan. Oleh karena itu dia selalu berusaha menguasai semua orang yang berbuat jahat untuk diupayakan agar berubah menjadi orang baik-baik.
DEWA YAMA
Dalam asta brta disebutjkan sufat Bathara Yana memberantas semua perbuatan jahat, menghancurkan semua orang yang berbuat jahat di kerajaan. Tidak menghiraukan sanak saudara, apabila jahat tetap dimusnahkan. Semua perbuatan yang tidak baik dicari dan diporak porandakan. Dalam menjaga kerajaan agar sejahtera diusahakan dengan memberantas tuntas semua tindak kejahatan.
DEWA CANDRA
Bersifat pemaaf. Agar seisi kerajaan merasa enak, dalam memrintah selalu dengan perkataan yang harus dan manis. Roman mekanya selalu penuh kelembutan. Dalam segala tindakannya selalu menyenangkan. Dia berisaha memlihara dunia dengan hanya memerintahkan yang baik. Tulus rendah hati. [hlm: 124]
DEWA BRAMA:
Bhatar Brama selalu berusaha mencarikan makan untuk seluruh lapisan rakyat, agar semua warga mencitai negaranya. Bathara Brama bisa mengerti dan memahami kemampuan rakyatnya dan dapat bekerjasama dengan rakyat untuk menghadapi musuh. [hlm: 125]

KONSEP KEPEMIMPINAN YANG RESIPROKAL
Tesis ini mencermati bahwa konsep kepemimpinan Jawa, sejak lama memiliki pola yang “resiprokal” atau hubungan timbal balik yang mesra antara pemimpin dan yang dipimpin.
Resiprokal itu saling memberi, saling menerima.
Dalam sastra cetha disebutkan bahwa kedudukan raja dan prajurit adalah ibarat singa dan hutan. Bala tentara ibarat hutan, sedangkan rajanya ibarat singa. Keselamatan singa bisa terjaga manakala hutannya lebat. Inilah yang dapat disimbolkan sebagai makna “saling”.
PERANAN DAN KEDUDUKAN RAJA BAGI NEGARA DAN RAKYAT.
Dalam buku ini digambarkan bahwa kedudukan raja pada rakyat meliputi:

  1. Raja adalah panutan dan teladan
  2. Raja adalah panutan dan pemimpin
  3. Raja adalah pengayom dan pelindung
  4. Raja adalah pelindung pertahanan dan ketahanan negara
  5. Raja adalah pemelihara kesejahteraan rakyat.

Dalam buku ini juga menguraikan tentang:
Peranan dan kedudukan negara bagi raja dan rakyatanya, serta peranan dan kedudukan rakyat bagi negara dan negaranya. Di sinilah yang menampakkan bahwa komponen negara, raja dan rakyat memilki hubungan yang resiprokal.
[Wusana kata: Model kepemimpinan yang mengedepankan keseimbangan [ ] merupakan sebuah model yang di junjung tinggi di tanah Jawa. Sebuah kerajaan akan tercipta dan memiliki perjalanan sejarah yang sejahtera “tata tentrem kerta raharja”, manakala seorang raja mampu memegang teguh keseimbangan, dan mengkondisikan pada rakyatnya. Dalam mengembangkan ajaran kepemimpinan selau dikemas dalam wadah seni”art”, dan simbol-simbol yang indah,dan kadang puitis. Dalam memberikan ajaran biasanya dilakukan dalam suasana yang kondusif, dalam beberapa hal dicontohkan fragmen bentuk kepemimpinan melalui ceritera pewayangan. Harjuno Sosrobahu, adalah fragmen yang menggambarkan ajaran kepemipinan. Untuk mendalam konsep kepemimpinan Jawa ini, Joglo masih memiliki literature lainhnya, dan akan di Posting kemudian.

  • Javanese Wisdom Berpikir dan Berjiwa Besar [digali dari warisan khasanah budaya Jawa Serat Wulang Reh Karya Sri Paku Buwono IV] oleh Agung Webe.
  • Dari Ilmu Hastha Brata sampai Sastra Jendra Hayuningrat oleh Wawan Susetya
  • Kepemimpinan Jawa oleh Wawas Susetya. ]


Kearifan Lokal: Delapan Watak Pemimpin Jawa

Setiap komunitas memiliki seperangkat pengertian dan perilaku, baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalaman komunitas tersebut. Semacam kekuatan atau kemampuan komunitas itu untuk menyelesaikan secara baik dan benar berbagai persoalan serta kesulitan yang dihadapi.

Dalam proses waktu, rangkaian perilaku dan pengertian itu mengkristal dan menjadi sekumpulan nilai atau ajaran moral, yang kemudian secara umum dikenal sebagai local wisdom alias kearifan lokal. Dan secara praktis, kearifan lokal dapat dilihat dalam dua dimensi. Pertama adalah pengetahuan dan kedua adalah praktiknya berupa pola-pola interaksi dan perilaku atau tindakan.

Jawa adalah salah satu etnik yang juga memiliki kearifan lokal. Juga dalam soal kepemimpinan. Bahkan soal ini mendapat perhatian yang cukup serius. Karena, antara lain, ia selalu dikaitkan dengan nilai-nilai ideal yang berorientasi kepada dunia supranatural. Katakanlah semacam dewa, Tuhan, dan lainnya.

Hal itu, antara lain, tercermin dalam pandangan orang Jawa terhadap pemimpin, raja misalnya, yang dianggap sebagai ”wakil/titisan” dewa atau Tuhan di muka bumi. Tugas mulia seorang pemimpin ini terutama menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Di mana salah satu pilar utama hidup harmonis itu adalah keadilan.Oleh karenanya, pemimpin yang baik adalah dia yang mampu menerjemahkan nilai-nilai keadilan dalam praksis kehidupan. Orang-orang yang dipimpin harus mendapatkan rasa adil dan kesejahteraan lahir dan batin.

Dalam konteks ramainya kontes pemilihan pemimpin, tingkat lokal dan nasional belakangan ini, mungkin baik menakar bagaimana kearifan lokal Jawa menawarkan standar kepemimpinan idealnya.

Astabratha

Sebagai etnik terbesar, Jawa memiliki konsep tersendiri tentang bagaimana kepemimpinan yang seharusnya. Konsep yang disebut Astabratha itu menilai pemimpin antara lain harus memiliki sifat ambek adil paramarta atau watak adil merata tanpa pilih kasih (Ki Kasidi Hadiprayitno, 2004). Secara rinci konsep ini terurai dalam delapan (asta) watak: bumi, api, air, angin, angkasa, matahari, bulan, dan bintang atau dalam bahasa Jawa disebut bumi, geni, banyu, angin, langit, surya, candra, dan kartika.

Pertama, watak bumi yang harus dimiliki seorang pemimpin mendorong dirinya untuk selalu memberi kepada sesama. Ini berdasarkan analog bahwa bumi merupakan tempat untuk tumbuh berbagai tumbuhan yang berbuah dan berguna bagi umat manusia.

Kedua, geni atau api. Pemimpin harus memiliki sifat api. Api adalah energi, bukan materi. Api sanggup membakar materi apa saja menjadi musnah. Namun, api juga bisa mematangkan apa saja. Api dalam konteks ini bukan dalam pengertian yang destruktif, melainkan konstruktif.

Semangat api yang konstruktif yang harus dimiliki pemimpin, antara lain, adalah kesanggupan atau keberanian untuk membakar atau melenyapkan hal-hal yang menghambat dinamika kehidupan, misalnya sifat angkara murka, rakus, keji, korup, merusak dan lainnya.

Ketiga, air/banyu, adalah watak yang menggambarkan pemimpin harus selalu mengalir dinamis dan memiliki watak rendah hati, andhap asor dan santun. Tidak sombong. Tidak arogan. Sifat mengalir juga bisa diartikan bahwa pemimpin harus mampu mendistribusikan kekuasaannya agar tidak menumpuk/menggumpal yang merangsang untuk korupsi. Selain itu, seperti air yang selalu menunjukkan permukaan yang rata, pemimpin harus adil dalam menjalankan kebijakan terkait hajat hidup orang banyak.

Berdemokrasi

Keempat, watak angin atau udara, watak yang memberikan hak hidup kepada masyarakat. Hak hidup, antara lain, meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak (sandang, pangan, papan, dan kesehatan), mengembangkan diri, mendapatkan sumber kehidupan (pekerjaan), berpendapat dan berserikat (demokrasi), dan mengembangkan kebudayaan.

Surya atau matahari adalah watak kelima di mana pemimpin harus mampu menjadi penerang kehidupan sekaligus menjadi pemberi energi kehidupan masyarakat.

Keenam, watak bulan/candra. Sebagaimana bulan yang memiliki kelembutan menenteramkan, pemimpin yang bijak selalu memberikan rasa tenteram dan menjadi sinar dalam kegelapan. Ia harus mampu memimpin dengan berbagai kearifan sekaligus visioner (memiliki pandangan jauh ke depan); bukan memimpin dengan gaya seorang tiran (otoriter) dan berpikiran dangkal.

Lalu watak ketujuh dalam kearifan Jawa adalah bintang/kartika. Sebagaimana bintang menjadi panduan para musafir dan nelayan, pemimpin harus mampu menjadi orientasi (panutan) sekaligus mampu menyelami perasaan masyarakat.

Dan akhirnya, Jawa menuntut seorang pemimpin mesti memiliki watak langit atau angkasa. Dengan watak ini, pemimpin pun harus memiliki keluasan hati, perasaan, dan pikiran dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa dan negara. Tidak sempit pandangan, emosional, temperamental, gegabah, melainkan harus jembar hati-pikiran, sabar dan bening dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bukankah inti atau substansi pemimpin adalah pelayan? Pemimpin yang berwatak juragan adalah penguasa yang serba minta dilayani dan selalu menguasai pihak yang dipimpin.

Sumber: Indra Tranggono Pemerhati Kebudayaan dan Cerpenis, Tinggal di Yogyakarta, www.kompas.com, 16/08/2008

Hasta Brata, Filosofi Kepemimpinan Jawa

22 Maret 2008 at 11:27 pm | In Sharing | 13 Comments

Di rumahku di Kudus kebetulan semua orang di keluargaku langganan suatu terbitan. Bapakku, suka sok-sokan nguri-nguri budaya Jawa dengan langganan majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat. Padahal alasan utamanya adalah karena beliau kadang-kadang kurang kerjaan dan kalo mbaca koran nasional suka ga mudeng. Ibuku, seorang pegawai negeri di Departemen Agama, langganan majalah Rindang, majalah wajib bagi PNS di linkungan Depag. (Suatu cara pemasaran yang efektif). Adikku satu-satunya suka menabung uang jajannya untuk beli tabloid setiap akhir minggu. Tabloid Bola. Dan yang dibacanya terutama adalah ulasan tentang Chelsea. Ternyata gen keluargaku memang terselempit gen kutu, terutama kutu buku, kutu majalah, dan kutu tabloid.

Nah, aku sendiri memang cuma langganan majalah ITMagz yang terbitnya ga pasti 3 bulan sekali. Selain itu, paling aku langganan bulletin Jumat yang pasti ada saat Jumatan di masjid-masjid. Tapi aku sering baca-baca majalah atau tabloid milik anggota keluargaku yang lain.

Berawal dari situlah aku sering dapat ilmu yang aneh-aneh. Misalnya tentang kisah Salah Kedaden dulu itu. Nah, kemarin di majalah Rindang edisi Pebruari(tulisannya begitu) 2008, ada tulisan tentang “Etika Kempemipinan Dalam Masyarakat Jawa”. Lumayan menarik, makanya aku tulis ulang di sini.

Etika Kepemimpinan dalam masyarakat Jawa dikenal dengan istilah “Hasta Brata”. Istilah ini diambil dari buku Ramayana karya Yasadipura I yang hidup pada akhir abad ke-18 (1729-1803 M) di keraton Surakarta.

Secara etimologis, “hasta” artinya delapan, sedangkan “Brata” artinya langkah. Secara terminologis berarti delapan langkah yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam mengemban misi kepemimpinannya. Langkah-langkah tersebut mencontoh delapan watak dari benda-benda di alam yakni Bumi, Matahari, Bulan. Bintang, Api, Angin, laut, dan Air.

  • Bumi, wataknya adalah ajeg. Sifatnya yang tegas, konstan, konsisten, dan apa adanya. Bumi menawarkan kesejahteraan bagi seluruh mahkluk hidup yang ada di atasnya. Tidak pandang bulu, tidak pilih kasih, dan tidak membeda-bedakan.
  • Matahari selalu memberi penerangan (di kala siang), kehangatan, serta energi yang merata di seluruh pelosok bumi. Energi dari cahaya matahari juga merupakan sumber energi dari seluruh kehidupan di muka bumi. Pemimpin juga harus memberi semangat, membangkitkan motivasi dan memberi kemanfaatan pengetahuan bagi orang-orang yang dipimpinnya.
  • Bulan mungkin lebih berguna daripada matahari. Karena dibandingkan matahari, bulan memberi penerangan saat gelap dengan cahaya yang sejuk dan tidak menyilaukan. Pemimpin yang berwatak bulan memberi kesempatan di kala gelap, memberi kehangatan di kala susah, memberi solusi saat masalah dan menjadi penengah di tengah konflik.
  • Bintang adalah penunjuk arah yang indah. Seorang pemimpin harus berwatak bintang dalam artian harus mampu menjadi panutan dan memberi petunjuk bagi orang yang dipimpinnya. Pendirian yang teguh karena tidak pernah berpindah bisa menjadi pedoman arah dalam melangkah.
  • Api bersifat membakar. Artinya seorang pemimpin harus mampu membakar jika diperlukan. Jika terdapat resiko yang mungkin bisa merusak organisasi, kemampuan untuk merusak dan menghancurkan resiko tersebut sangat membantu untuk kelangsungan oraganisasi.
  • Angin adalah udara yang bergerak(ya iyalah, anak SD juga tahu). Maksudnya kalo udara itu ada di mana saja. Dan angin itu ringan bergerak ke mana aja. Jadi pemimpin itu, meskipun mungkin kehadiran seorang pemimpin tidak disadari, namun ada dimanapun dia dibutuhkan. Pemimpin juga tak pernah lelah bergerak dalam mengawasi orang yang dipimpinnya. Memastikan baik-baik saja dan tidak hanya mengandalkan laporan yang bisa saja direkayasa.
  • Laut atau samudra yang lapang, luas, menjadi muara dari banyak aliran sungai. Artinya seorang pemimpin mesti bersifat lapang dada dalam menerima banyak masalah dari anak buah. Menyikapi keanekaragaman anak buah sebagai hal yang wajar dan menanggapi dengan kacamata dan hati yang bersih.
  • Air mengalir sampai jauh dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Meskipun wadahnya berbeda-beda, air selalu mempunyai permukaan yang datar. Artinya, pemimpin harus berwatak ait yang berprinsip keadilan dan sama rata, kesamaan derajat dan kedudukan. Selain itu, sifat dasar air adalah menyucikan. Pemimpn harus bersih dan mampu membersihkan diri dan lingkungannya dari hal yang kotor dan mengotori.

Delapan watak benda-benda alam ini mampu menjadi contoh bagi seorang pemimpin dalam mengomando orang-orang yang dimpimpinnya menuju tujuan organisasi.

Hal seperti ini sudah ditemukan di Indonesia di akhir abad ke-18, tapi kenpa banyak orang Indonesia yang mengeluh bahwa di Indonesia ini masih kurang jiwa kepemimpinan dalam memimpin negara ini mencapai tujuannya.


0 comments

Posting Komentar

 
|  tugas blog MKT11-3C. Blogger Template By Lawnydesignz Powered by Blogger