Banyak orang mencari Jawa dengan datang ke Yogyakarta, katanya di Jogja suasana Jawa masih dapat dinikmati. Mungkin karena melihat penampakan luar atau fisik yang terlihat dari bangunan tradisional keraton, pakaian surjan dan blangkon, fasilitas tradisional seperti andong, sepeda onthel, dan sebagainya masih menyimbolkan etnis Jawa. Warga masyarakatnya pun khas dengan senyum ramah, sapaan, dan pemakaian bahasa Jawa sehari-hari. Kesan ini juga disebabkan karena Jogja dikemas sebagai kota budaya, Daerah Istimewa Yogyakarta. Walaupun kemodernan yang ada di Jogja juga sudah meluas namun tradisionalnya masih diperlihatkan dan dilekatkan ke dalam tampilan modern itu. Misalnya mall atau hotel yang merupakan konsep modern dan megah tetapi barang, bentuk bangunan, atau namanya berbau tradisional pula.
Tak ubahnya penampilan fisik, cara pandang, perilaku, dan nilai-nilai pun ikut mengalami pergeseran. Hal ini tentu karena adanya sentuhan-sentuhan atau friksi sebagaimana yang dibahas oleh Ana Tsing Lauwenthaupt dalam bukunya berjudul Friction . Interkoneksi itu terjadi lewat dunia pendidikan, media, komunikasi. Pergeseran tersebut menyebabkan redefenisi baru dalam pemaknaan terhadap perilaku dan cara pandang masyarakat.
Tetapi bagaimana dengan Jawa di luar Jogja? Apa yang bisa dirasakan di daerah yang tidak istimewa itu, selain masyarakatnya masih menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-harinya. Saya rasa kemungkinan itu sudah agak sulit dilihat, karena kini daerah-daerah tersebut sudah mengalami transformasi modern dalam segala penglihatan kita secara fisik. Bangunan, kendaraan, pakaian sudah mengikuti trend modern karena adanya sentuhan globalisasi.
Seperti yang dikatakan oleh Irwan Abdullah, bahwa proses estetisasi dalam kehidupan perkotaan telah menegaskan suatu transformasi identitas dengan batas-batas kultural yang berubah. Perubahan ruang desa-kota tidak lain merupakan suatu proses transformasi yang melahirkan suatu kultur lama (pedesaan), khususnya terjadi saat pembentukan gaya hidup berorientasi pada nilai-nilai yang bersifat global dengan batas-batas sosial yang mengabur .
Namun beberapa daerah di Jawa, khususnya pedesaan, pertanian masih menjadi karakteristik masyarakat Jawa. Walaupun demikian penampilan fisik di masyarakat pedesaan tersebut sudah tidak lagi dapat dilihat atau diidentifikasikan dari pakaian, rumah, dan sebagainya. Identifikasi Jawa masih dapat dilihat dalam struktur tindakan, cara pandang, perilaku, dan kelas sosial dalam masyarakat Jawa.
Mengapa desa? Perubahan masyarakat kota cenderung telah terjadi dengan lebih padat, intensif, dan lebih canggih. Hal ini menyebabkan masyarakat terintegrasi ke dalam suatu tatanan yang lebih luas. Desa sebagai daerah lokal yang juga mengalami proses globalisasi memperlihatkan bahwa nilai-nilai dari luar lokal dipelajari dan diadopsi. Perbedaannya, kota merupakan suatu wilayah atau ruang yang sudah banyak melahirkan diferensiasi terlebih dahulu ketimbang desa akibat modernitas pembangunan yang telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat kotanya. Sedangkan di desa yang sifatnya masih homogen dengan struktur sosial yang masih pakem kemudian mau tidak mau juga mengalami proses tersebut secara langsung atau tidak langsung. Namun bagi beberapa daerah di Jawa pedesaan, istilah global village sangat merepresentasikan adanya koneksi langsung antara desa dengan dunia global atau universal.
Desa seperti yang diistilahkan global village itu kemudian membawa saya pada suatu gambaran dimana orang desa itu sendiri melakukan mobilitas ke tingkat global. Mobilitas ruang yang terjadi ini menyebabkan perubahan terhadap struktur sosial dalam masyarakat yang merupakan pengaruh dari pergerakan manusia dan sosial itu sendiri.
Pada paper kali ini saya mencoba untuk mengupas persoalan mobilitas dalam masyarakat dan juga dalam kelas sosial masyarakat Jawa, secara khusus untuk membatasi lingkup pembahasan. Saya akan menguraikan persoalan sekitar perubahan pada struktur kelas dan strategi yang dilakukan oleh masyarakat dalam stratifikasi sosial. Persoalan ini layak dibahas karena seperti yang digambarkan di Sumba, bahwa kelas posisinya terkadang bisa sangat statis tetapi juga tidak menutup kemungkinan untuk dinamis sehingga ia dapat berubah sesuai dengan konteks, dan sesuai dengan fungsi atau peranannya dalam masyarakat. Artinya mobilitas tidak hanya terjadi pada tataran lokasi atau ruang wilayah masyarakat tetapi juga pada tataran kelas sosial masyarakat. Mobilitas atau pergerakan ini juga memperlihatkan kepada kita bagaimana transformasi bentuk atau model tradisional ke modern telah mempengaruhi perubahan sosial termasuk perubahan kelas dan status dalam masyarakat desa. Agen-agen yang membawa perubahan tersebut pun mendefenisikan dirinya secara berbeda dari ide-ide atau gagasan yang telah berpadu antara yang lokal dan yang global tersebut. Lalu bagaimana masyarakat desa kini memberikan pemaknaan baru terhadap perubahan yang sedang terjadi dalam sruktur masyarakat kini? Apa saja yang dilakukan oleh masyarakat desa untuk menyiasati dan mempertahankan kedudukannya dalam kelas sosial? siapa yang akan bertahan dan siapa yang akan hilang di dunia yang tidak lagi memiliki batas-batas identitas kultural menjadi sub kultural?
Beberapa konsep dalam kelas pada masyarakat pedesaan akan mengantarkan paper ini. Perubahan masyarakat terhadap model produksi dari pertanian ke migrasi membawa transformasi pada bentuk tradisional ke modern, mempengaruhi struktur kelas sosial dan dinamika perubahan atau pergantian kelas semakin banyak terjadi pada kalangan masyarakat di desa. Untuk itu, saya akan memulai persoalan ini dengan sedikit cerita mengenai konsep tradisional ngenger dan konsep modern yaitu migrasi dalam berbagai bentuknya sekarang ini.
Ngenger, sebuah mobilitas kelas tradisional
Bentuk-bentuk mobilitas tradisional Jawa terjadi pada antar keluarga. Ngenger secara struktur masyarakat sosial merupakan salah satu bentuk mobilitas vertikal yang biasa dilakukan oleh kalangan masyarakat petani kepada para priyayi di keluarga Jawa. Dalam bahasa Kawi Ngenger berarti Suhito. Anak-anak yang yang melakukan ngenger biasa disebut atmo suhito. Keluarga yang tidak mampu secara ekonomi dan sosial menitipkan anaknya untuk ikut keluarga yang lebih terpandang dan lebih mampu agar mendapatkan pendidikan sekolah dan juga etika Jawa. Kata lain untuk menggambarkan ngenger adalah adopsi atau asuh. Biasanya keluarga ini memiliki hubungan baik dan sudah dekat. Konsep ngenger dapat dikatakan dengan gambaran anak yang dititipkan kepada keluarga yang lebih mampu dan bekerja sebagai pelayan rumah tangga, untuk mendapatkan makan, pakaian, tinggal di rumah keluarga tersebut, uang saku, dan juga disekolahkan. Karena atmo suhito ini mengandalkan loyalitasnya pada keluarga tersebut maka seumur hidup ia akan mengabdikan dirinya untuk keluarga itu, sehingga oleh keluarga priyayi itu anak-anak atmo suhito sudah dianggap sebagai keluarga sendiri .
Kehidupan seperti ini digambarkan dalam novel Umar Kayam yang berjudul para priyayi . Dalam cerita tersebut Wage yang berasal dari kalangan petani miskin dan merupakan anak jadah tanpa bapak, dingengerkan oleh ibunya kepada keluarga Sastrodarsono agar mendapatkan kesejahteraan dan pendidikan, dan juga ia mencoba untuk menjadi pemula dalam keluarganya sebagai seorang priyayi. Yang terakhir ini tentu saja keinginan tersirat lantip itu sendiri. Namun ia juga harus tau diri untuk mengabdi kepada keluarga itu dan apa yang ia dapatkan merupakan hutang budi yang ia bawa sampai akhir hayatnya. Oleh karena itu ia juga bekerja untuk keluarga yang telah mengijinkan dan memberi pendidikan kepadanya. Setelah berada di dalam keluarga priyayi itu, lantas ia diberi nama baru oleh keluarga tersebut yaitu Lantip. Nama yang lebih menunjukkan identitas priyayi. Hal ini merupakan salah satu strategi seorang yang berasal dari kelas petani merubah nama dirinya untuk identitas statusnya menjadi seorang yang menggambarkan kepriyayiannya.
Walaupun sekarang ini sudah tidak banyak lagi orang yang mengenal istilah ini, praktek migrasi seperti yang dilakukan oleh TKI dan PRT oleh masyarakat Jawa pedesaan merupakan bentuk-bentuk transformasi dari konsep ngenger. Ada bentuk-bentuk, kesamaan, keterulangan yang terjadi di dalam migrasi tersebut. Yaitu menjadi pelayan rumah tangga dengan tujuan untuk menghasilkan kehidupan yang lebih baik dan mengangkat derajat atau status mereka dalam kelas masyarakat. Hanya saja bentuk transformasi baru ini tidak lagi sebatas keluarga dekat tetapi menjadi lebih luas dan lebih kompleks karena adanya tawaran untuk menembus batas-batas lokal.
Migrasi, Mobilitas Bentukan Global
Migrasi merupakan sebuah pergerakan manusia dari satu wilayah ke wilayah lain. mobilitas ini tidak hanya terjadi dalam konteks lokasi tetapi juga dalam konteks struktur sosial masyarakat. Seperti halnya Sumba dan Jawa, di wilayah lain di dunia persoalan antar kelas sosial masyarakat juga mengalami mobilitas. Ana Tsing menggambarkan bahwa pergerakan global seperti barang, gagasan, uang, dan orang-orang dari seluruh wilayah akan menembus dan meresap ke dalam suatu masyarakat lainnya. Kemudian dengan adanya interaksi dan sentuhan dari masyarakat lokal itu pula mengakibatkan adanya gesekan atau pertemuan antara lokal dengan global yang kemudian direspon oleh kelompok masyarakat tersebut.
Terbukanya kesempatan untuk mengadakan mobilitas internasional maupun transnasional yang menyentuh masyarakat tradisional menyebabkan terjadinya migrasi kerja sebagai model produksi baru dalam masyarakat lokal. Hal ini memberikan kontribusi dalam pergerakan baru dalam masyarakat lokal itu sendiri yang dapat merubah struktur sosial masyarakat. Setiap orang dapat menjadi migran untuk melakukan aktivitas ekonomi. Namun sistem kelas dalam setiap kelompok masyarakat merespon hal yang berbeda karena kontrol dan akses yang dimiliki tidaklah sama.
Stephen Castles menunjukkan bahwa pergerakan global ke arah modernitas merupakan kelanjutan dari proses internal dan eksternal . Ekspansi eksternal ditunjukkan dengan penyebaran nilai-nilai barat, institusi, dan teknologi. Sedangkan ekspansi internal ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, perkembangan administrasi, dan sebagainya. Tentunya tidak hanya yang disebutkan oleh Castles. Di Jawa pedesaan masih banyak bentuk ekspansi internal yang menyebabkan terjadinya mobilitas antar batas wilayah. Selain karena pertanian yang tidak lagi dapat menjamin kebutuhan ekonomi masyarakat, ada kebutuhan status dan harga yang lebih ingin dicari oleh para migran.
Para Tenaga kerja Indonesia yang semakin lama kian merasakan kesejahteraan yang didapatkannya dari pekerjaannya sebagai migran, memiliki kebutuhan akan mengejar nilai status atau modal kekuasaan untuk berada dalam masyarakatnya.
Petani, Priyayi, dan Migran
Bila kita melihat pada konsep perbudakan di Sumba, kemungkinan untuk merubah posisi ata dalam kelas tidak dapat terjadi karena tekanan dari para elit sangat begitu kuat ditentukan dengan garis keturunan. Kecuali lewat pernikahan, menurut Janet Hoskin, perkawinan di Sumba dapat menjadi model untuk memperbaiki posisi kekerabatan atau sistem stratifikasi sosial seseorang . Terutama untuk seorang perempuan yang kemudian ikut dalam klen atau kerabat keluarga laki-laki. Ia juga menyatakan bahwa mempertahankan budak bagi orang Sumba, menunjukkan kehormatan bagi hirarki tradisi dan prestise para elit atau bangsawan. Maramba atau golongan bangsawan yang kaya tetapi tidak mempunyai seorang budak atau ata, tidak memiliki kekuatan dan modal sosial. Budak berfungsi mengukur hubungan dominasi ekonomi dalam klaim sosial.
Di Jawa menjadi priyayi ternyata juga tidak hanya dipandang dari segi ekonomi, tetapi juga selain keturunan, ia harus mempunyai sikap bagaimana seharusnya seorang priyayi berperilaku. Misalnya dalam etika sikap, menjodohkan anak, menjalin hubungan dengan keluarga lain, dan juga membantu atau mengangkat saudara atau kerabat di dalam keluarganya. Sikap ini merupakan suatu bentuk dalam mempertahankan posisi dan statusnya. Semula saya kira ini bukan menunjukkan tolak ukur untuk mendapatkan status sosial karena pada golongan priyayi hal ini ditunjukkan dengan apologi yang berbeda. Bahwa orang yang sudah mampu harus mengangkat saudara, kerabat, orang lain untuk memperbaiki kedudukannya dengan memberikan pendidikan. Bahwa menjadi priyayi yang terpandang di dalam masyarakat bukan menjadi orang kaya saja. Priyayi terpandang karena kedudukanya dan kepintarannya. Sehingga untuk mandiri ia masih harus mengandalkan ekonominya dari bertani walaupun bukan ia sendiri yang mengolahnya. Hal ini yang mungkin menjadikan Tki atau migran belum dapat mencapai statusnya sebagai seorang yang terhormat dalam struktur kelas masyarakat Jawa.
Pembahasan mengenai struktur sosial yang dikemukakan oleh Ralph Linton ada dua konsep . Yaitu status dan peran. Status emrupakan sekumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurutnya seseorang menjalankan perannya ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Selain itu ia juga membedakan pembagian status antara Ascrribed status (status yang diperoleh sejak lahir) dan achieved status (status yang diraiih selama hidup. Konsep ini menunjukkan bahwa dalam suatu struktur sosial terdapat ketidaksamaan posisi sosial antar individu. Dan Max Weber mengatakan bahwa suatu masyarakat terbagi dalam stratifikasi yaitu kelas, status, dan kekuasaan.
Peluang untuk melakukan mobilitas yang tinggi ke ruang global telah menyebabkan munculnya diferensiasi pada kelas-kelas sosial masyarakat. Hal ini ditandai dengan adanya organisasi modern yang sifatnya lebih kompleks. Perubahan model produksi menimbulkan pembagian kerja yang menjadi pengelompokan-pengelompokan baru dalam kelas sosial. Kelas merupakan perwujudan sekelompok individu dengan persamaan status.
Dikatakan bahwa pembangunan ekonomi modern yang sejalan dengan perkembangan kapitalis menyebabkan pembagian status berdasarkan pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan. Kelas dalam masyarakat Jawa pedesaan awalnya dikenal homogen. Kelas atas biasanya terdiri dari para bangsawan, priyayi, pendidik, elit politik, dan raja. Sedangkan kelas bawah terdiri dari petani, pedagang, buruh, dan tukang. Semenjak arus globalisasi telah meresap ke dalam kehidupan sehari-hari maka pertumbuhan kelas baru di pedesaan telah menentukan status dan posisi sosial seseorang dapat berubah–ubah atau bergerak dalam stratifikasi sosial.
Status ini akan lebih jelas terlihat bila seseorang dibedakan berdasarkan profesi atau jenis pekerjaannya. Seperti misalnya kelas petani, migran, pendidik, dan elit atau pejabat desa. Namun pada kenyataannya, posisi dan status sosial ini tidak semata-mata konsisten atau statis. Dengan kata lain posisi dan status menjadi sulit untuk dikategorikan dalam golongan kelas berdasarkan pekerjaannya karena seseorang menjalankan dua peran sebagai petani dan migran, atau sebagai pendidik sekaligus petani.
Teori inkonsistensi status yang merupakan representasi dari teori psikologi sosial, dikemukakan oleh Barington moore. Dijelaskan olehnya bahwa individu dilihat sebagai suatu bentuk ketidakkonsistenan antara status individu dengan kelompok atau aktivitas dan sikap yang didasarkan dalam perubahan. Hal ini terjadi karena dalam migrasi terdapat batasan-batasan seseorang melakukan mobilitas yang sifatnya temporer. Kebiajakan-kebijakan pemerintah menetapkan batas-batas atau standar mobilitas tidak selamanya dapat dilakukan. Oleh akrena itu banyak para migran yang pulang kembali dan tidak dapat menlanjutkan perjalanannya menjadi tenaga kerja Indoensia menyebabkan ia kembali menjadi petani atau profesi lain yang telah dibangunnya. Iniah yang menyebabkan inkonsistensi status pada individu seseorang. Sedangkan kelompok migran sendiri walaupun menjadi petani mereka tetap masuk dan eksis dalam kelompok migran. Yang membedakan kemudian adalah status antara kepemilikan tanah dan buruh tani. Migran yang mempunyai modal untuk memiliki tanah sawah akan berbeda statusnya dengan petani yang hanya menjadi buruh tani tetapi tidak memiliki lahan. Kelebihan inilah yang emnyebabkan para migran atau tenaga kerja Indonesia lebih tinggi satu tingkat di atas petani buruh. Dengan hal ini dapat dikatakan bahwa selalu dapat ditemukan pengelompokan-pengelompokan baru dalam stratifikasi sosial masyarakat.
Strategi kelas: Bermain Aman atau Dengan Konflik
Tidak hanya dalam cerita novel, di Sleman Yogyakarta, saya mengenal sebuah keluarga besar yang juga masih mengerti dengan konsep ngenger ini . Pak Puh (dari pak sepuh) dan mbah Buk (dari mbah ibuk), begitu mereka akrab disapa, memiliki 6 orang anak. Pak Puh dahulu berasal dari keluarga petani. Ia menceritakan masa kecilnya bermula dari orang yang susah. Hingga akhirnya ia mengenyam pendidikan di SR dan selanjutnya ia menjadi seorang guru dan sekarang sudah pensiun. Nama Indro Subroto bukanlah nama dari masa kecilnya. Ia mengganti namanya setelah ia menikah dan berkeluarga. Sebelumnya ia mempunyai nama Sri Maheni. Sebagai seorang guru kedudukannya sebagai seorang Jawa tentunya masuk dalam kelas priyayi. Namun selain memiliki lahan sawah, ia juga sukses menjalankan bisnis transportasi dan dagang bersama istrinya. Begitu pula dengan anak-anaknya yang dipandang sukses. Bila diperhatikan maka, ia berhasil membangun kedudukannya dalam konteks kelas sosial tradisional dan kelas sosial dalam nilai-nilai modern.
Namun tidak semudah itu untuk mempertahankan sebuah kedudukan dalam dunia yang strukturnya berubah. Perlu modal besar untuk menunjangnya mempertahankan posisi dan kedudukans ebgai seorang priyayi. Ia memiliki anak-anak atmo suhito di rumahnya. Hal ini merupakan sebuah kekuatan untuk mmempertahankan kelasnya sebagai seorang priyayi yang dihormati.
Banyak masyarakat pedesaan yang belum mampu memegang dan memepertahankan dua kedudukan yang tinggi dal;am struktur atau stratifikasi sosial masyarakat. Walaupun masyarakat mengalami transformasi dengan menjadi migran seringkali terjadi konflik atau ketegangan akibat yang tidak dapat dihindari akibat kontradiksi budaya. Migrasi yang merupakan bentukan global menjadi rentan terhadap pergesekan yang menyebabkan konflik-konflik atau kontradiksi dengan struktur dan nilai-nilai lokal masyarakat tradisional.
Misalnya dalam rumah tangga para buruh migran atau tenaga kerja wanita mengalami perubahan struktur dalam rumah tangga, dimana perempuan mempunyai status ibu dan memiliki kewajiban menjalankan perannya dalam keluarga tidak lagi dapat sama dengan keluarga petani . Pencapaian ekonomi dan kesejahteraan yang lebih baik merupakan alasan utama bagi para petani yang melakukan migrasi menjadi tenaga kerja Indonesia ini. Namun bukan hanya masalah kemiskinan kemudian. Kenyataan bahwa yang kaya pun melakukan migrasi dengan menjadi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri ternyata untuk mengejar status dan kedudukan dalam struktur masyarakat di ruang global. Status yang diraih sebagai perempuan migran adalah perempuan modern yang bila dilihat dan diperbandingkan agak berlainan atau bergesekan dengan status perempuan tradisional atau perempuan Jawa.
Hal ini kemudian membuat perempuan migran untuk menentukan sikapnya dalam menghadapi kehidupan rumh tangga bersama individu lainnya sebagai anggota rumah tangga. Dengan posisinya yang kuat perempuan migran memiliki sikap tersendiri untuk menghadapi persoalan rumah tangganya. Pertama, menentang nilai-nilai keharmonisan dalam masyarakat yang ditunjukkan dengan melakukan aksi yang di mata masyarakat merupakan perilaku negatif. sikap ini adalah bentuk kekuatan yang diwujudkan pada kemampuan untuk mengekspresikan kebebasan individu. Fenomena kawin-cerai menjadi bentuk aksi perempuan untuk melawan mitos bahwa perempuan selalu menjadi obyek atau korban dalam pernikahan. Dalam hal ini otoritas perempuan diperlihatkan secara jelas. Bukan berarti perempuan migran identik dengan kawin cerai tetapi konsekuensi itu diambil ketika relasi dengan suaminya dirasa menekan dirinya sebagai seorang individu dan sosial. Bagi perempuan migran ini menjadi tindakan agar mereka terbebas dari ikatan ekonomi dan seksual dari laki-laki. Hengkang dari desa juga merupakan alternatif bagi perempuan migran untuk menghadapi persoalan hidup rumah tangga dan sosialnya.
Kedua, sikap perempuan migran yang mencoba bertahan kuat untuk tetap menjaga keutuhan keluarga sesuai dengan kontrol dan nilai sosial yang baik dimata masyarakat. Dalam pilihan ini perempuan mendefenisikan ulang konsep gender yang selama ini dipahami di masyarakatnya. Memiliki perkawinan yang utuh dan langgeng masih menjadi cita-cita perempuan migran sendiri, sehingga dari sebelum perkawinan mereka menegaskan identitas dirinya dan melakukan negosiasi yang baik dengan laki-laki pilihannya untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Dengan demikian konflik yang terjadi dapat direduksi dan tidak menyebabkan perpecahan.
Aksi individual yang menjadi kemudian lambat laun dapat menjadi aksi sosial perempuan migran ini akan merubah nilai-nilai yang telah ada dalam masyarakat pedesaan. Ketegangan atau konflik yang terjadi dalam rumah tangga memiliki hubungan anata individu dalam peran dan struktur organisasi dengan perubahan sosial. Di sinilah para migran atau tenaga kerja wabnita merupakan agen-agen perubahan dalam struktur masyarakt pedesaan Jawa.
Oleh karena itu untuk bertahan dalam suatu komunitas, kelompok atau group dengan kedudukannya sebagai kelas menengah pedesaan seringkali membuat mereka kesannya menanggalkan ke-Jawa-annya. Nilai-nilai tradisional Jawa dalam perempuan akan hilang dan tergantikan dengan sendirinya bertransformasi ke nilai-nilai perempuan migran sebagai perempuan modern. Karena untuk bertahan dalam suatu stratifikasi sosial masyarakat mereka harus masuk dalam suatu kelompok atau komunitas kelas yang ada.
Redefenisi kelas sosial
Tidak kembali masuk ke kelas petani yang tidak mempunyai lahan bukan merupakan pilihan bagi para migran yang telah menjadi tenaga kerja ke luar negeri. Namun menjadi priyayi atau elit dalam kelompok masyarakat juga bukan sesuatu yang mudah diraih mengingat ada nilai-nilai atau unsur tradisional yang masih diterapkan dan dilekatkan pada kelompok priyayi. Yakni kedudukan yang menonjolkan ke-Jawa-annya. Seperti yang dilakukan oleh bapak Indro Subroto di Sleman dengan kekuatannya untuk mengangkat orang lain atau kerabatnya ke dalam rumah tangganya sebagai bentuk kekuatan dalam status sosialnya.
Mengapa, bila demikian cita-cita dan orientasi migran yang dapat dikatakan modern membawa bentuk-bentuk fisik kesuksesan majikannya ke desa dengan membangun rumah tembok, memiliki perabotan mewah, dan sebagainya tetapi tidak mengadopsi atau merubah statusnya di desa dengan menjadi seperti majikannya. Maksudnya mereka yang telah sukses memiliki kemampuan secara ekonomi pun tidak memiliki kemampuan untuk memiliki pembantu rumh tangga di desa mereka sendiri. Tentu saja yang dibutuhkan bukan kemampuan ekonomi namun kemampuan kultural untuk menjadi seorang priyayi atau bangsawan di desa. Realitanya, mereka yang bekerja sebagai migran namun berasal dari keluarga yang mempunyai keturunan priyayi masih dipandang dapat memiliki modal kultural tersebut.
Tetapi apa artinya jika dalam sebuah ruang wilayah terdapat orientasi masyarakat dari berbagai kelas yang melakukan pekerjaan migrasi sebagai tenaga kerja Indonesia selama masa produktifnya? Apakah pekerjaan sebagai migran adalah bukan Jawa yang sedang mereka cari jika mereka masih menginginkan stattus yang lebih tinggi. Artinya mereka tidak mengharapkan akhir pencarian identitasnya sebagai seorang migran tetapi seorang dengan identitas Jawa untuk meneguhkan statusnya dalam kelompok masyarakat. Migrasi keluar negeri yang temporer merupakan alat untuk mencapai status dan kedudukan yang lebih tinggi seperti halnya priyayi. Seperti mimpi indah di ruang global tetapi kembali ke desa kebutuhan akan kepuasan mencapai status dalam kedudukan tinggi dalam konteks tradisional Jawa tidak juga terpenuhi dengan waktu yang tidak lama. Namun perilaku masyarakat migran yang tidak memiliki pembantu di desanya ketika ia mampu dan mungkin membutuhkan menunjukkan juga pada kita bahwa masih ada “Jawa” di dalam diri mereka.
Comte membahas mengenai perubahan sosial dan membaginya dalam dua konsep yaitu, social static (bangunan struktural) dan social dynamic (dinamika struktural) . Bangunan struktural merupakan struktur yang berlaku pada suatu masa tertentu. Bahasan utamanya mengenai struktur sosial yang ada di masyaraka melandasi dan menunjang kestabilan masyarakat. Sedangkan dinamika struktural merupakan hal-hal yang berubah dari satu waktu ke waktu yang lain. perubahan pada bangunan struktural maupun dinamika struktural merupakan bagian yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Perubahan ini menyebabkan masyarakat desa sebagai masyarakat lokal harus berdiri dan bertahan di dua sisi dalam konteks ruang global dan lokal yang berbeda. Transformasi fisik dan struktur yang terjadi di pedesaan telah menyebabkan mereka harus menentukan orientasi mereka untuk masuk dalam bagian global atau lokal yang saat ini kita semua dalam pemaknaannya tidak melihat batas-batas global atau lokal itu sendiri. Perubahan oientasi dalam waktunya pun mengalami perubahan-perubahan. Saat ini bisa dikatakan orintasi masyarakat yang telah mengglobal kembali pada konteks lokal dimana identitas etnik atau kelompok tradisional ditonjolkan dan memainkan peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Penutup
Castles dalam tulisannya mengenai studying transformation mengatakan bahwa globalisasi adalah hasil dari keterhubungan erat antara proses dari perubahan teknologi, aktivits ekonomi, pemerintah, komunikasi, dan budaya . Globalisasi telah menciptakan pembagian baru dengan stratifikasi global tetapi ia menghapus pemisahan lama antara timur dan barat, utara dan selatan tidak benar juga. Saat ini identitas lokal memang akhirnya terasa penting dengan orientasi sosial masyarakat yang berubah dalam mekmanai identitas dalam ruang mereka.
Studi transformasi sosial juga mengalami perubahan yang dinamis dalam menggambarkan proses perjalanan transformasi itu sendiri pula. Setidaknya ia tidak hanya berhenti pada satu konsep mengenai globalisasi tetapi juga terhadap glokalisasi yang mengarah pada lokalisasi identitas suatu masyarakat tertentu. Keberlanjutan teori kelas dan transformasi sosial dirasa perlu untuk mengembangkan dengan jelas kemana sebaiknya orientasi kita dalam menentukan perubahan-perubahan yang terjadi. Bahwa pemaknaan manusia terhadap dirinya juga berputar-putar, berganti dinamis dalam lingkup global dan lokal tersebut sesuai dengan apa yang mereka inginkan dan butuhkan.
Trikotomi Geertz yang Monumental
Penelitian jenis antropologi yang dilakukan Clifford Geertz di Mojokuto mulai Mei 1953 sampai September 1954 ini menghasilkan konstruksi nalar Jawa yang sangat berpengaruh bagi perkembangan sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Dalam laporannya, Geertz menyuguhkan fenomena Agama Jawa ke dalam tiga varian utama: abangan, santri, dan priyayi. Trikotomi Agama Jawa itulah yang sampai sekarang terus disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia dan menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang membedah tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena Agama Jawa adalah kemampuan mendeskripsikan secara detail ketiga varian tersebut dan menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan utuh atas ketiga varian tersebut.
Metode kerja yang dipakai Geertz dalam pengumpulan data-data selama penelitiannya di Mojokuto, kota kecil di Jawa Timur, adalah penguasaan bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan local, pembagian tugas dengan tim peneliti lain, pendalaman topik-topik tertentu yang membutuhkan detail, dan pengumpulan data-data statistik. Dan bagian terbesarnya digunakan untuk kegiatan observasi-partisipatif. Prinsip kerjanya berdasarkan proposisi “...bahwa ahli etnografi itu mampu mencari jalan keluar dari datanya, untuk membuat dirinya sendiri jelas agar para pembaca dapat melihat sendiri bagaimana tampaknya fakta-fakta itu, dan dengan demikian bisa menilai kesimpulan dan generalisasi ahli etnografi itu sesuai dengan persepsi aktualnya sendiri� (hal. 9). Meskipun Jawa adalah Jawa yang stereotip penunjukannya jelas, namun perhatian Geertz mengungkap adanya varian agama Jawa lebih kepada adanya kompleksitas masyarakat Jawa.
Pengamatan Geertz tentang Mojokuto terkait profesi penduduk setempat, penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto berdasarkan kepercayaan, preferensi etnis dan pandangan politik, dan ditemukannya tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan: abangan, santri dan priyayi. Struktur sosial desa –biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh kecil- yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan magi menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan abangan. Sementara pasar –terlepas dari penguasaan etnis Cina yang tidak menjadi pengamatan Geertz- diasosiasikan kepada petani kaya dan pedagang besar dari kelompok Islam berdasarkan kondisi historis dan sosial di mana agama Timur Tengah berkembang melalui perdagangan dan kenyataan yang menguasai ekonomi Mojokuto adalah mereka memunculkan subvarian keagamaan santri. Yang terakhir adalah subvarian priyayi. Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi Keraton Hindu-Jawa. Sebagaimana halnya Keraton (simbol pemerintahan birokratis), maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.
Varian Abangan
Bagi sistem keagamaan Jawa, slametan merupakan pusat tradisi yang menjadi perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk untuk memenuhi setiap hajat orang atas suatu kejadian yan ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan. Misalnya kelahiran, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, ganti nama, sakit, dll. Struktur upacaranya terdiri dari hidangan khas, dupa, pembacaan doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa tinggi yang resmi. Dan bagi kalangan abangan yang terdiri dari petani dan proletar, slametan adalah bagian dari kehidupannya.
Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan: (1) yang berkisar krisis kehidupan (2) yang berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa (3) yang terkait dengan integrasi desa, bersih desa (4) slametan sela untuk kejadian luar biasa yang ingin dislameti. Semuanya menunjukkan betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku social dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah di_-slamet-_i (hal. 17).
Kepercayaan kepada roh dan makhlus halus bagi abangan menempati kepercayaan yang mendasari misalnya perlunya mereka melakukan slametan. Mereka percaya adanya memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang, dan bangsa alus lainnya. Hal yang berpengaruh atas kondisi psikologis, harapan, dan kesialan yang tak masuk akal. Semuanya melukiskan kemenangan kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas bukan manusia (hal. 36). Gambarannya adalah kebudayaan orang Jawa berkembang dan hutan tropis yang lebat berubah menjadi persawahan dan rumah, makhlus halus mundur ke sisa belantara, puncak gunung berapi, dan Lautan Hindia.
Kalau kepercayaan mengenai roh dan berbagai slametan merupakan dua sub katagori daripada agama abangan, maka yang ketiga adalah kompleks pengobatan, sihir dan magi yang berpusat pada peranan seorang dukun (hal.116). Ada beberapa macam dukun: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan, dukun calak, dukun wiwit, dukun temanten, dukun petungan, dukun sihir, dukun susuk, dukun japa, dukun jampi, dukun siwer, dukun tiban. Masyarakat Mojokuto secara umum mengakui adanya dukun, namun apakah mereka percaya kepada kemampuan dukun merupakan masalah lain. Ada konsep lain yang menyertainya yaitu kecocokan (cocog).
Varian Santri
Mojokuto yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jemaah muslimnya terkristal dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas pedagang dan banyak petani muncul dari utara Jawa memunculkan varian santri. Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak acuh terhadap doktrin dan terpesona kepada upacara, sementara santri lebih memiliki perhatian kepada doktrin dan mengalahkan aspek ritual Islam yang menipis (hal. 172). Santri juga lebih peduli kepada pengorganisasian sosial umat di sekeliling mereka. Di Mojokuto, ada empat lembaga sosial yang utama; parpol Islam, sistem sekolah agama, birokrasi pemerintah/Depag, dan jamaah masjid/langgar. Keempatnya berpautan baik pada santri yang modern dan kolot. Ada tiga titik komunitas santri di Mojokuto: yakni petani santri desa yang kaya, pedagang kecil kota, dan keluarga penghulu/aristokrasi santri. Perbedaaan sosial inilah yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik di antara mereka. Konflik itu dapat terpecahkan oleh kesamaan agama santri (hal. 182). Antara tahun 1953-1954, ada satu PSII yang menyisakan beberapa orang SI yang asli dan kerabat keluaraga, partai NU sebagai Orsos dan Parpol yang digabungkan dalam satu kesatuan organisasi yang agak lemah, Masyumi sedikit lebih baik dalam organisasi yang dipimpin orang Muhammadiyah, dan Muhammadiyah sendiri sebagai organisasi sosial (hal. 199).
Pembagian santri modern dan konservatif oleh Geertz didasarkan pada 5 perbedaan tafsir keduanya; kehidupan yang ditakdirkan lawan kehidupan yang ditentukan sendiri, pandangan yang totalistik lawan terbatas, Islam sinkretik lawan Islam murni, perhatian kepada pengalaman religius lawan penekanan aspek instrumental agama, pembenaran atas tradisi dan madzhab lawan pembenaran purifikasi secara umum dan pragmatis (h. 217). Sehingga pandangan dunia santri kolot sebenarnya lebih dekat kepada abangan. Hubungan santri modernis dan konservatif lebih kepada penyikapan terhadap abangan. Jika modernis menekankan disasosiasi dan purifikasi dalam sebuah kelompok kecil pemimpin agama kaum konservatif mencoba mengambil jalan tengah yang selaras dengan tradisi yang berlaku.
Pandangan keagamaan santri modernis vis a vis konservatif mempolakan pengorga-nisasian politik yang sama. Ada Masyumi-Muhammadiyah dan PSII sebagai progresif-modernis dan NU yang konservatif. Jika NU mengalami konflik antara generasi mudanya yang terpelajar dan terpengaruh kota dengan kiai-kiai pedesaan yang lebih tua, sementara konflik dalam Masyumi-Muhammadiyah antara yang saleh dan sekuler atau mengatur agar Islam modernis tidak menjadi sekuler. (hal. 227).
Untuk mempertahankan doktrin santri mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik Islam tradisonal) dan model sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Pertemuan antara pola pondok dan sekolah memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukkan pelajaran doktrin pada sekolah negeri/sekuler.
Terkait ide negara Islam, santri konservatif memahaminya sebagai teokrasi di mana para kyailah yang berkuasa. Sementara modernis berpandangan ada jaminan non muslim tidak menjadi kepala negara dan konstitusi yang mencantumkan hukum harus sesuai dengan jiwa al-Quran dan Hadis dan menyerahkan pelaksanaannya pada pembuat Undang-undang. Geertz memandang Depag merupakan kompromi kedua santri terhadap keberadaan negara nasional. Pada akhirnya terjadi rivalitas kedua santri menguasai birokrasi di Depag.
Pola ibadat santri yang meliputi sembahyang, shalat Jumat dan puasa di Mojokuto dalam beberapa masalah masih terpengaruh oleh perbedaan santri modernis dan konservatif. Di antaranya persoalan khutbah, teraweh, tadarus dan akhir liburan puasa. Terkait shalat itulah yang secara tegas membedakan antara santri dengan abangan dan priyayi.
Varian Priyayi
Priyayi mewakili aristokrasi Jawa. Kebanyakan mereka berdiam di kota yang disebabkan ketidakstabilan politik dalam kerajaan masa pra-kolonial, karena filsafat mereka yang melihat ke dalam yang lebih menghargai prestasi mistik daripada keterampilan politik, upaya Belanda merangkul petani. Mereka adalah birokrat, klerk/juru tulis, guru bangsawan yang makan gaji. Priyayi asalnya adalah keturunan raja-raja besar Jawa yang tersisa merupakan hasil dari kehidupan kota selama hampir 16 abad., namun berkembang oleh campur tangan Belanda kepada kelompok instrumen administrasi pemerintahan.
Priyayi memandang dunia ini dengan konsep alus dan kasar. Alus menunjuk pada murni, berbudi halus, tingkah laku yang halus, sopan, indah, lembut, beradab dan ramah. Simbolnya adalah tradisi kromo-inggil, kain bagus yang alus, musik alus. Dan konsep alus ini bisa menunjuk apa saja yang semakna dengan alus. Lawan dari alus adalah kasar dan merupakan kebalikan dari alus, bahasa kasar, tingkah laku kasar. Konteks priyayi bertemu dengan abangan dalam hal alus dan kasar. Sementara titik kehidupan “keagamaan� priyayi berpusat etiket, seni dan mistik. Yang menggabungkan unsur ketiganya adalah rasa.
Ada empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi yakni bentuk yang sesuai untuk pangkat yang tepat, ketidak langsungan, kepura-puraan, dan menghindari perbuatan yang ngawur atau tak menguasai diri. Ada banyak cara yang ditunjukkan oleh priyayi untuk menunjukkan sesuatu namun tetap berpegang pada prinsip tadi. Hal ini yang mengesankan priyayi adalah kaku, bertingkat dan formal.
Priyayi menganggap bahwa wayang, gamelan, lakon, joged, tembang dan batik adalah perwujudan kesenian yang alus. Berbeda halnya dengan ludrug, kledek, jaranan, dan dongeng sebagai kesenian yang kasar. Dan kesenian itu mengekspresikan nilai-nilai priyayi. Tidak mungkin bagi priyayi Mojokuto (camat misalnya) mengundang ludrug untuk pesta pernikahan anaknya.
Pandangan dunia priyayi terhadap aspek religius disebut dengan mistik. Mistik yang dimaksud adalah serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin orang yang didasarkan pada analisa intelektual atau pengalaman. Tujuan pencarian mistik adalah pengetahuan tentang rasa dan itu harus dialami oleh priyayi. Ritual yang dilakukan adalah bentuk tapa dan semedi dalam keadaan ngesti (menyatukan semua kekuatan individu dan mengarahkannya langsung pada tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya ke arah satu tujuan yang sempit (hal. 430).
Sekte-sekte mistik Mojokuto dalam bentuknya yang formal mengambil anggota dari pejabat (wedana), aparat (mantri polisi), penilik sekolah, juru gambar dan sejenisnya dari kalangan priyayi.
Konflik dan Integrasi
Agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat. Dengan demikian ketiga varian agama Jawa di Mojokuto itu mempunyai peranan yang saling kontradiksi. Geertz menyimpulkan (hal. 476-477):
1.Ada banyak antagonisme diantara para pemeluk berbagai orientasi keagamaan; dan antagonisme ini mungkin sedang meningkat
2.sekalipun ada perbedaan antagonisme, semua/hampir semua orang Jawa memegang nilai-nilai yang sama yang cenderung melawan efek memecah dari penafsiran-penafsiran yang berbeda thd nilai-nilai ini. Lagipula, ada berbagai mekanisme sosial yang cenderung mencegah konflik nilai mempunyai akibat-akibat yang mengganggu.
3.faktor yang mempertajam konflik:
- konflik ideologis yang hakiki karena ketidak senangan terhadap nilai-nilai kelompok lain.
- Sistim stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas status yang cenderung untuk memaksakan adanya kontak diantara individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara sosial dulunya sedikit terpisah
- Perjuangan untuk kekuasaan politik yang makin meningkat secara tajam untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan pemerintiah kolonial yang cenderung untuk menyuburkan perbedaan-perbedaan agama dengan kepentingan politik
- Kebutuhan akan kambing hitam untuk memusatkan ketegangan yang dibangkitkan oleh perubahan sistim sosial yang cepat
Hal-hal yang meredakan konflik antara lain termasuk:
- Perasaan berkebudayaan satu, termasuk makin pentingnya nasionalisme, yang menitikberatkan pada kesamaan yang dipunyai orang Jawa (atau bangsa Indonesia) ketimbang pada perbedaannya
- Kenyataan bahwa pola-pola keagamaan tidak terwujud secara langsung dalam bentuk-bentuk sosial, secara murni dan sederhana, melainkan dalam banyak cara yang berliku-liku, hingga janji keagamaan dan janji-janji lainnya –kepada kelas, tetangga, dsb- cenderung untuk seimbang, dan berbagai individu dan kelompok “tipe campuran� timbul, yang bias memanikan perantara.
- Toleransi umum yang didasrkan atas suatu “relatifisme kontekstual� yang menganggap nilai-nilai tertentu memang sesuai dengan konteksnya dan dengan demikian memperkecil “misionisasi�.
- Pertumbuhan mekanisme sosial yang tetap untuk bentuk-bentuk integrasi sosial yang pluralistic dan nonsinkretis dimana orang yang berasal dari berbagai pandangan sosial dan nilai dasar yang berbeda dapat bergaul dengan cukup baik satu sama lain dan menjaga agar masyarakat tetap berfungsi.
Ketegangan sosial antara ketiga varian itu adalah priyayi dan santri tidak sepakat dalam banyak hal, dan kebencian petani terhadap aristokarasi yang memerintah yang eksploitatif dan pedagang santri kota sudah berlangsung lama. Sementara ketegangan ideology abangan dengan priyayi diungkapkan lebih halus dibanding keduanya dengan santri. Untuk konflik kelas terjadi antara priyayi dengan abangan dengan tuduhan “orang desa�. Stratifikasi sosial masa setelah revolusi ini tidak sekaku masa kolonial dimana abangan dapat meraih status yang lebih tinggi karena prestasinya sudah terjadi dan karena abangan sudah lebih terorganisir.
Faktor yang mengintegrasi diilhami adanya keyakinan semua varian tentang ide kerukunan dan memakai simbol slametan, kepercayaan yang berbeda adalah relativ (tidak memaksa jika tidak cocog), saling kecocokan (cocog) diantara mereka jika dibandingkan dengan orang Cina atau Eropa, adanya nasionalisme dan proyeksi kebudayaan bersama yang baru, tidak selalu liniernya perubahan sistim tiap varian, adanya toleransi dan integrasi sosial yang pluralistic, munculnya hari-hari besar nasional dan hari 1 Mei dan 17 Agustus, dan faktor pemersatu yang menghilangkan semua perbedaan ketiga varian karena ketiganya merasa memiliki faktor itu adalah Riyaya. Yakni hari besar Jawa (dan Indonesia) akhir libur puasa.